Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2018

Mengakrabi Krisis

Madinah terguncang hebat, tak akan ada guncangan semacam itu lagi setelahnya. Orang-orang tercengang, sendi-sendi merapuh tak sanggup menyangga tubuh yang lunglai. Lidah yang kaku tidak kuat memproduksi kata, hanya suara serak. Episentrum guncangan ini berada di rumah Aisyah, yang di dalamnya terbujur jasad Rasulullah. Umar mencak-mencak mendengar kabar duka itu. Dia bangkit, berteriak dan mengancam, “sungguh tangan dan kaki siapa saja yang mengatakan Rasulullah wafat akan dipotong.” Mata-mata sembap tertunduk, mereka tidak terlalu mempedulikan Umar. Hari itu sikap Umar tidak ditafsiri sebagai kekuatan atau kekasaran seperti yang sudah-sudah. Dia hanyalah seorang laki-laki yang patah hati kemudian meluapkan emosi yang tak menemukan peraduan. Abu bakar menyelinap di antara kerumunan. Tanpa kata-kata, langkahnya bergegas memasuki kediaman Aisyah. Abu Bakar menatap wajah Rasul kemudian menciumnya. Kata-kata cintanya mengalir bercampur air mata. Abu Bakar kemudian keluar menemui khalayak

Khilafiah tentang Khilafah dan Khalifah

Muhammad  shallallahu aliahi wa sallam  tidak memiliki gelar kepemimpinan politik, beliau hanya disebut sebagai 'rasulullah' (utusan Allah). Tradisi bernegara bukanlah bagian dari kehidupan masyarakat Arab kala itu, mereka bebas dari hegemoni Romawi maupun Persia. Khalifah rasulillah pun mulanya lebih diposisikan sebagai komandan pasukan daripada seorang pimpinan negara. Absennya tradisi bernegara membuat pergantian kepemimpinan muslim tidak memiliki bentuk baku. Pemilihan empat khalifah pertama lebih kental dengan tradisi kesukuan daripada kenegaraan. Tidak ada pula aturan terperinci tentang pelaksanaan khilafah dalam sumber primer keagamaan. Suksesi Khulafur Rasyidin serta pemusatan otoritas politik di Madinah mengalir begitu saja. Pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama berlangsung tiba-tiba. Anggota musyawarah yang mengukuhkannya tidak memiliki acuan kriteria berkepastian. Mereka terdiri atas beberapa pembesar Muhajirin dan Anshar tanpa ketentuan proporsi, sekedar sia

Buncit dan Sok Alim

“Apa ini?” Kata Umar sambil menepuk perut seorang buncit. Puk puk puk... “Ini karunia dari Allah?” Jawab si buncit dengan PD-nya. “Ini justru azab dari Allah!" Sergah Umar. Umar berseru, “Wahai manusia! Hindari perut yang besar karena membuat kalian malas melaksanakan shalat, merusak organ tubuh, menimbulkan banyak penyakit. Makanlah kalian secukupnya agar kalian semangat melaksanakan shalat, terhindar dari sifat boros dan lebih giat beribadah kepada Allah.” Pada kesempatan yang lain Umar keheranan setengah anyel. “Kenapa orang itu berjalan seperti itu?” tanya Umar ketika melihat seseorang yang berpenampilan lusuh dan klemar-klemer . “Tak pantas seorang mukmin berjalan lambat dan berpenampilan kumuh.” Sikap umar yang blak-blakan memang tidak biasa membiarkan sesuatu yang dirasanya salah berlalu begitu saja darinya. “Hei,” tegur Umar, “engkau merusak Agama Islam dengan penampilanmu itu. Tegaklah saat berjalan dan tampakkan kemuliaan Islam!” Umar melanjutkan, “keliru orang yang meng

Yahudi Terbaik

“Hai semua orang Yahudi, wallahi , kalian telah mengetahui bahwa membantu Muhammad adalah kewajiban kalian!” orang-orang Yahudi menjawab, “sekarang hari Sabtu.” Hari Sabtu adalah hari keramat bagi mereka, dihormati dengan berdiam diri atau tidak banyak beraktivitas. “Tak ada Hari Sabtu untuk kalian!” kata Mukhairiq. Dia mengingatkan kaumnya tentang kebaikan dan keadilan Muhammad terhadap mereka tapi argumen Mukhairiq kalah nyaring dari provokasi pembenci Nabi. “Jika aku mati, hartaku menjadi milik Muhammad. Ia bebas menggunakannya untuk apapun yang dia kehendaki.” Mukhairiq seketika melesat menuju Uhud, berjuang mati-matian dan benar-benar mati dalam perang itu. Rasul bersabda, “Mukhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi ( khairu yahudi —bukan alyahudi ). Memang mengagumkan, selain menceburkan diri dalam jihad, Mukhairiq juga mewasiatkan hartanya kepada Rasul padahal kaum Yahudi dikenal sangat cinta harta. Salah satu gejala yang melekat pada kebanyakan penyebaran agama adalah triumfali