Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2017

Sumpah Pemuda

“Tidak ada kabilah yang saling bermusuhan begitu hebat seperti mereka,” komentar para pemuda Madinah mengenai negerinya. “Mudah-mudahan bersama Engkau, Allah akan mempersatukan mereka lagi,” lanjut mereka. Itulah sekelumit percakapan antara Rasul dengan enam orang pemuda Khazraj di Aqabah. Kalimat mereka menggambarkan suasana jiwa yang lelah dengan permusuhan. Pertemuan dengan Rasul serasa pas dengan gemuruh jiwa mereka yang ingin mendobrak ruang gelap tapi belum tahu caranya. Apalagi sejak awal pembicaraan Rasul telah berhasil menggelitik nalar kaum muda tersebut. “Dia adalah nabi yang dijanjikan oleh orang-orang Yahudi kepadamu, jangan sampai mereka mendahului kamu.” Para pemuda itu segera menyambut seruan Rasul setelah nalar membenarkannya. Hadirnya enam pemuda revolusioner di Yatsrib dibarengi dengan matinya beberapa tetua Auz dan Khazraj dalam Perang Bu’ats. Saat itu kepemimpinan beralih kepada kaum muda yang lebih siap menerima perubahan. Di lain sisi, tidak ada figur yang cuku

Ujung Pertikaian

Pertikaian Thalhah dan Ali dalam Perang Jamal sesungguhnya tidak lebih dari pertikaian dua orang bersaudara yang saling ngeyel dengan ijtihadnya. Sekedar tentang ‘pokoknya gini!’ bukan atas dasar benci apalagi dendam. Ketika Thalhah dan Ali benar-benar berhadapan dalam kecamuk perang, nyatanya mereka tidak saling serang. Ali menasihati Thalhah, mengingatkannya pada pesan-pesan Rasul. Kenangan Thalhah tentang masa di saat Rasul masih hidup di antara mereka berdua menyeruak. Thalhah pun pergi meninggalkan peperangan namun nahas, sebuah anak panah misterius tiba-tiba melesat membunuhnya. Setelah perang Jamal, ketika Ali melihat kedatangan Imran bin Thalhah maka ia langsung menyambutnya dan berkata kepadanya, “Aku berharap Allah menjadikan aku dan ayahmu termasuk orang-orang yang difirmankan Allah tentang mereka, “dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka; mereka merasa bersaudara, duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” Seseorang dalam majelis itu menyahut,

Membebas Cinta dari Beban Makna

“Ya Rasulallah, aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri.” Umar terdengar melankolis ketika mengucapkan kalimat tersebut. “Tidak ya Umar,” jawab Rasul, “engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada dirimu dan keluargamu.” Tidak, ini bukan percakapan basa-basi yang mungkin tengah kita bayangkan. Umar tidak lantas jadi kikuk ketika mendapati Rasul menjawab seperti itu. “Ya Rasulallah, mulai sekarang engkau lebih aku cintai dari apapun di dunia ini,” kata Umar. “ Nah gitu , ya Umar!” Rasul menanggapi. C inta para shahabat kepada Rasul adalah keberhasilan menundukkan hati bukan sebaliknya. Mencinta dan membenci hanyalah pilihan yang bisa digiring menurut kehendak, sesederhana itu. Ekspresi cinta Abu Bakar adalah “Aku percaya padamu ya Rasul,” sementara Umar menerjemahkan rasa cintanya dengan “biar kupenggal lehernya ya Rasul!” Cinta jenis ini tak banyak berjanji, ia tumbuh dengan memberi. Ketika seorang wanita dari Bani Dinar mendengar bahwa suami, saudara dan ayahnya mening

Membakar Jalan Pulang

Rasul bertanya kepada Zaid bin Tsabit, “Wahai Zaid, apakah kamu bisa  berbahasa Ibrani?” Zaid menjawab apa adanya, “belum ya Rasulallah.” Ketika Zaid ditanyai oleh sang Rasul seakan-akan ia mendengar kalimat lain yang tak terucapkan, “Jika tidak bisa maka belajarlah!” Sejak hari itu Zaid memutuskan untuk mempelajari seluk-beluk Bahasa Ibrani. Zaid memiliki efikasi diri, azzam kuat untuk meraih cita-cita, yang menyelamatkannya dari keterperosokan dalam jawaban retoris untuk membenarkan kelemahan diri sebagai kewajaran. Hanya lima belas hari sejak percakapan itu Zaid mampu menguasai Bahasa Ibrani. Tujuh belas hari kemudian ia juga menguasai Bahasa Suryani. Keren! Zaid dan seluruh generasi terbaik umat ini adalah orang-orang yang membangun efikasi dengan baik. Sebagaimana pesan Rasul, wala ta’jiz—jangan merasa tidak mampu , jika tujuan telah ditetapkan maka kejarlah seakan tak ada lagi jalan kembali. Ketika Thariq bin Ziyad dan belasan ribu pasukannya mendarat di Andalusia mereka dihadap

Move On

Kesedihan hanya menusuk sedalam yang kita izinkan! Duka atas kematian para shahabat dalam Perang Uhud tak menjadikan Rasul kehilangan kewaspadaannya terhadap musuh yang mungkin kembali menyerang. Setelah perang berakhir Beliau mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membuntuti pasukan musyrikin dan menyelidiki pergerakan mereka. Kewaspadaan Rasul dan kemampuan beliau untuk memprediksi gerakan musuh terbukti akurat. Ali melaporkan bahwa pasukan musuh menunjukkan gelagat ingin menyerang Madinah. Esok harinya Rasul menyeru pasukannya untuk kembali berjihad. “Janganlah keluar bersama kami kecuali orang-orang yang ikut bersama kami dalam Perang Uhud kemarin!” Para shahabat segera menjawab seruan Rasul, termasuk mereka yang sedang terluka parah. Bahkan di antara mereka ada yang belum sempat memasuki rumahnya. Sami’na wa atha’na , kini tak seorang pun dari mereka yang berambisi untuk merebut ghanimah. Pasukan yang masih lemah itu lantas bergerak mengejar kaum musyrikin. Rasul tinggal di Hamraul