Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2020

Agama Kampung

Kala mudik ke Ngawi, saya menemukan sebuah fotokopian kitab, kalau tidak salah karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Kitab itu milik ibu saya, sedang beliau pelajari di madrasah diniyah. Yes, ibu saya masih ngaji di masjid. Diskusi keagamaan di madrasah kadang-kadang berlanjut di sawah sambil tandur atau matun. Kegiatan keagamaan lumayan banyak di kampung saya, seperti umumnya kultur masyarakat muslim tradisional. Walau ada kelompok taklim tapi gaya beragama di kampung saya bukan tipe intelek seperti gejala muslim perkotaan. Agama bagi mereka adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang sudah turun-temurun dan tidak perlu argumen fikih yang njelimet. Agama menjadi lelaku. Ibu saya dan sebagian tetangga meskipun rajin ngaji tapi tidak pandai beretorika seperti para penceramah. Mereka belajar agama memang tidak untuk tujuan seperti itu. Mereka belajar untuk dinikmati sendiri, atau setidaknya agar tidak gelagapan ketika ditanya anaknya hukum nun mati bertemu mim, atau sedikit-sedikit tah

Belajar

Imam Nawawi tak punya jadwal tidur, apalagi tempat tidur. Tempat tinggalnya dipenuhi buku hingga jika ada tamu maka beliau harus menumpuk buku-bukunya agar ada sedikit ruang untuk duduk. Beliau terus menerus menulis ilmu, kalau cape maka beliau beristirahat dengan membaca. Membaca buku yang bagi kita sudah sesuatu yang hebat, cuma dianggap sebagai kegiatan santai bagi beliau. Ibnu Katsir yang tafsirnya populer itu buta matanya lantaran terlalu banyak menulis dan membaca di waktu malam. Abu Bakar Al-Anbari sekarat di dekat tumpukan sertatus kitab. Dokter yang merawatnya bertanya tentang apa yang sebenarnya Al-Anbari lakukan selama ini. Beliau menjawab, “Aku membaca seratus ribu lembar halaman buku setiap minggu.” Gak usah kaget berlebihan, Ibnu Jauzi pernah bercerita jika ia sudah membaca dua puluh ribu jilid buku. Well, kita mungkin mulai bosan di rumah selama masa pandemi ini tapi ketahuilah bahwa Ath-Thabari konon empat puluh tahun tinggal di rumah.   Setiap hari beliau menulis s

Sebuah Niat

Saya kepikiran menulis sirah nabawiyah dan tarikh khulafa’ dengan gaya bercerita yang berbeda dengan pembawaan buku PAI atau SKI. Saya rasa bakalan asyik membahas letak rumah Suku Quraisy di era Nabi sehingga ketahuan rumah siapa saja yang dilewati Nabi saat pergi ke Ka’bah, berapa jarak rumah Abu Lahab yang suka merusuhi Nabi. Kisah Ka’bah yang sering dipanjat maling kelihatannya juga seru, berapa tingginya bangunan itu, berapa kali kebanjiran atau kapan ia kebakaran. Mengusili kemapanan kisah Khalid melawan ratusan ribu pasukan Romawi dilihat dari logis tidaknya orang sebanyak itu berkumpul di area seukuran Lapangan Yarmuk, mungkin bisa memicu amukan netizen.  Bahasan tentang pencemaran irigasi Yatsrib mungkin juga oke. Bahasan ringan seperti b agaimana Nabi menjaga kaos kakinya agar tidak melorot mungkin bisa diteladani. Warna sepatu Nabi bisa jadi inspirasi fesyen pembaca. Jalinan kekeluargaan dan pernikahan di masa Nabi barangkali juga seru sekaligus rumit. Nabi menikahi put

Fakhitah, Cinta Pertama Rasulullah

Hari itu Rasulullah mendatangi cinta pertamanya, Fakhitah. Menyampaikan keinginan yang sama seperti belasan tahun silam. Sebelum menikahi Khadijah, Rasulullah lebih dulu jatuh hati dengannya namun sayang Rasulullah kurang gercep . Fakhitah kadung dilamar lelaki lain ketika Rasulullah mengutarakan keinginannya untuk menikah. Apalah daya Rasulullah terpaksa mundur alon-alon. Angin gurun menerbangkan debu-debu, membawa harapan masa lalu. Rasulullah sekali lagi mengutarakan keinginannya kepada Fatkhitah yang sudah menjanda. Angin gurun menerbangkan debu-debu, membawa harapan masa lalu. Fakhitah sekali lagi memupuskan harapan Rasulullah yang ingin memperistrinya. Angin gurun menerbangkan debu-debu, melenyapkan harapan masa lalu. Rasulullah, lelaki mulia itu dua kali patah hati karena perempuan yang sama. Fakhitah adalah wanita yang Rasulullah sebut dalam sebuah hadits, “Sebaik-baik wanita yang menaiki unta adalah wanita-wanita shalihah dari orang Quraisy, yaitu wanita yang demikian saya

Jaahilun

Kita menerima ceramahnya mbah Maimoen meski beliau dari PPP. Kita tak mempermasalahkan kajiannya Salim A. Fillah meski dia pendukung PKS. Kita nyantai dengan kajian bergaya kuliah ala Ustaz Adi Hidayat, kita damai dengan pengajian gayeng ala Gus Baha. Kita bisa sekaligus menerima Gus Mus yang NU dan Prof. Haedar Nashir yang Muhammadiyah. Mungkin kita cenderung pada salah satu dari mereka tapi kita sulit untuk tidak kagum dan hormat dengan nama lainnya. Hal ini mungkin tidak berlaku jika kita tidak termasuk golongan baligh dan berakal sehat. Kita bisa menghargai dakwah mereka karena keilmuan mereka jelas, dan mereka membicarakan apa yang mereka kuasai. Jadi penceramah mestinya bukan hanya modal nekat, apalagi kepepet. Makin hari kok makin banyak orang dengan latar belakang keilmuan gak jelas ceramah agama. Nyantri belum melakoni, ikut madrasah tidak pernah, ngeyel megang mic. Pembenarannya pakai hadis “sampaikanlah walau satu ayat.” Lah, hambok ingat juga ada hadis di Fathu Bari No.