Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2017

Kesederhanaan yang Menaklukkan

“Bukan anda orang yang berhak menerima kunci Alquds,” kata uskup Nasrani kepada Amru bin Ash. Episode ini terjadi ketika Alquds memilih jalan damai setelah negeri  di sekitarnya dibebaskan kaum muslimin di bawah komando Khalid dan Abu Ubaidah. “O, kalau itu sih Umar, pemimpin kami di Madinah.” Jawab Amru bin Ash setelah sang uskup menyebutkan ciri-ciri orang yang berhak menerima kunci Alquds menurut kitab suci mereka. Umar mendatangi undangan ke Palestina bersama seorang asistennya. Mereka mengendarai seekor bighal (peranakan kuda) secara bergantian dari Madinah hingga Alquds. Sekian kilo Umar jalan kaki sekian kilo berikutnya giliran asistennya. Qadarullah ketika memasuki Palestina, Umar lah yang mendapat giliran jalan kaki. Apa terlihat saat itu sama sekali berbeda dengan yang biasanya ditampilkan oleh pemuka Byzantium. Arakan warga Palestina yang mulanya riuh ingin melihat Umar mulai mengerenyitkan dahi. Penampilan Umar jauh di bawah ekspekstasi warga Palestina yang dikenal mencint

Salah Kaprah Madinah

Kota sarang penyakit yang lembah-lembahnya mengalirkan air keruh penuh dengan kuman. Kota yang sudah lelah dan bosan dengan pertikaian di antara penduduknya yang berwatak keras dan arogan. Kota yang ekonominya dikacaukan oleh hegemoni pasar Yahudi. Kota itulah yang kemudian disebut dengan Madinah. Hijrah tidak memberikan kelapangan hidup dengan tiba-tiba bagi Kaum Muhajirin. Ia tidak juga menawarkan cinta sebagaimana Makkah. Rasul bersabda, “demi Allah, engkau (Makkah) adalah sebaik-baik bumi, dan bumi Allah yang paling dicintai-Nya. Seandainya Aku tidak diusir darimu, aku tidak akan pernah keluar (meninggalkanmu).” Banyak Kaum Muhajirin yang tertimpa wabah ketika tiba di Madinah. Saat Aisyah berkunjung ke rumah Abu Bakar, ia mendapatinya sedang sakit parah bersama Bilal dan Amir bin Fuhairah. Ketiga shahabat tersebut bahkan tidak menyadari apa yang mereka katakan karena parahnya kondisi mereka. Mengetahui hal itu Rasul berdoa, “ya Allah jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana ka

Ketika Nabi Tak Mau Berbagi (2)

“Siapa yang paling Engkau cintai?” Tanya Amru bin Ash. “Aisyah.” Jawab   Rasul. “Maksudku dari kalangan laki-laki.” “Bapaknya Aisyah." Aisyah adalah cinta yang unik. Manja tapi cerdas, yang bermanja dengan cerdas. Ia cerdas ketika tak jua mau diajak pulang saat ‘nonton’ bersama Rasul, bukan karena ia menikmati pertunjukan tapi ia ingin orang lain mengetahui kedudukannya di samping Rasul. Ia cerdas ketika berdoa “Ya Rabb Ibrahim” bukan “Ya Rabb Muhammad” lantaran sedang ngambek dengan Rasul. Ia yang membanting nampan karena cemburu. Ia pula yang menghimpun sekian banyak ilmu dari Rasul, menguasai ilmu nasab, syair hingga pengobatan. Aisyah. Suatu hari ia berdiri di dekat gerbang kota Madinah dengan kerinduan membuncah. Samar-samar ia mendengar deru pasukan semakin mendekat. Sang Rasul baru saja pulang dari jihadnya. Aisyah segera menyambut kedatangan Rasul dengan segelas minuman. Rasulullah meminumnya perlahan, dengan adab terindah seorang lelaki. Tegukan demi tegukan hingga hampir

Bukan Pahlawan Khaibar

Lelaki itu menghunus pedangnya dalam kecamuk Perang Khaibar. Matanya tajam memburu setiap gerak pasukan musuh. Tak seorang musuh pun yang berlalu dalam pengawasannya kecuali ia buru dan tebas dengan pedangnya. Ia mengagumkan! Semua gambaran keagungan itu rontok ketika Rasul bersabda, “sungguh orang itu termasuk penduduk neraka!” Shahabat berkata, “kalau begitu siapa di antara kami yang menjadi penduduk surga bila orang seperti itu saja menjadi penduduk neraka?” Shahabat menyikapi pernyataan Nabi yang terasa ganjil itu dengan sikap introspeksi diri bukan penolakan. Lelaki itu semakin dalam menusuk jantung pertahanan musuh. Aksi heroiknya barulah terhenti ketika sebuah serangan yang tak terhindarkan melukainya hingga sekarat. Luka yang menganga dan darah merah menyala menggelapkan dunianya. Dengan nafas yang terputus-putus ia kumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk meletakkan ujung pedangnya di dadanya, menusuk sendiri jantungnya. Shahabat yang mengetahui kejadian tersebut segera mendatangi

Peran-Peran Cerdas dalam Hijrah Rasul

Abu Bakar Ketika matahari masih berada pada puncak panasnya Rasulullah mendatangi Abu Bakar. “Sungguh Aku telah diizinkan untuk keluar berhijrah,” kata Rasul. “Ditemani oleh shahabatku,” lanjut Beliau. Abu Bakar menangis, yang Aisyah sebut sebagai tangis kebahagiaan yang belum pernah ia temui sebelumnya. “Ya Rasulallah sungguh hewan tunggangan ini telah aku siapkan untuk berangkat hijrah,” kata Abu Bakar. Begitulah cerdasnya Abu Bakar, ia telah mempersiapkan jawaban atas seruan hijrah bahkan sebelum percakapan hari itu dimulai. Tidak ada yang mengetahui hijrahnya Nabi kecuali Abu Bakar beserta keluarganya dan Ali bin Abi Thalib. Ali mendapat tugas menggantikan Rasul di tempat tidur beliau di malam ketika rumah beliau dikepung orang-orang Quraisy. Ali juga bertugas untuk mengembalikan amanah masyarakat Quraisy yang masih ditanggung Rasul. Dakwah Rasul memang diingkari kafir Quraisy tapi Beliau tetap menjadi kepercayaan dalam urusan lainnya. Abdullah bin Abu Bakar Setelah Rasul dan Abu B

Mengadulah Kepada Para Wanita

Hari itu Rasulullah sedang galau menyikapi para shahabat yang ngambek. Tak ada “ sami’na wa atha’na” ketika Rasul menyeru mereka. Shahabat mengadakan aksi mogok lantaran merasa kecewa dengan Perjanjian Hudaibiyah yang mencegah mereka memasuki Makkah tahun itu. “Bangkitlah, sembelihlah hewan kalian dan bercukurlah!” tiga kali Nabi berseru tapi tak ada yang menggubris. Rasul kemudian masuk dan mengadukan masalahnya kepada istrinya, Ummu Salamah. Beliau radhiyallahu ‘anha menenangkan Rasul dan menyarankan agar beliau menyembelih hewan tanpa menunggu para shahabat. “Bangkitlah, jangan bicara pada siapapun hingga engkau menyembelih hewan dan memanggil seseorang untuk mencukur rambutmu,” demikian saran Ummu Salamah. Ketika hal itu dilakukan, sontak para shahabat berdiri dan berlomba untuk menyembelih dan mencukur rambut. Ummu Salamah berhasil melapangkan kesempitan Rasul dengan pendapat pribadinya, bahkan tanpa dalil. Khadijah menghangatkan hati Nabi ketika permulaan turunnya wahyu. Ada b

Andai Aku Tahu Cara Menyembah-Mu

“Ya Allah andai aku tahu cara yang paling Engkau sukai untuk aku menyembah-Mu, namun aku tidak tahu,” lelaki tua itu kemudian bersujud. Sewaktu ia menyandarkan tubuhnya ke Ka’bah ia berkata, “wahai Bangsa Quraisy, demi yang jiwa Amr bin Nufail berada di tangan-Nya, tidak ada di antara kalian yang berjalan di atas Millah Ibrahim kecuali aku! Ia adalah orang yang dermawan. Ia adalah lelaki yang menyelamatkan bayi-bayi perempuan yang ingin dibinasakan. Ia adalah satu dari empat orang lelaki yang mengingkari penyembahan berhala: Waraqah bin Naufal, Ubaidillah bin Jahsy dan Utsman bin Huwairits. Waraqah kemudian mencari kebenaran dari Ahli kitab, Utsman mendatangi Kaisar Romawi dan menempuh jalan Nasrani, Ubaidillah sempat berislam dan hijrah ke Habasyah namun ia justru berakhir dengan meyakini Nasrani. Sementara lelaki itu tetap pada pendiriannya, ia tidak menganut Yahudi atau Nasrani. Ia sabar mengais sisa-sisa kebaikan Millah Ibrahim dengan kejernihan hati dan akalnya. Ia mengembara ke

Ketika Nabi Tak Mau Berbagi (1)

Suatu ketika datang seorang lelaki miskin kepada Nabi shallahu ‘alahi wa sallam. Dengan wajah sumringah ia mendekat. “Ya Rasulallah terimalah hadiah kecil dariku,” katanya sembari menyerahkan segenggam buah anggur. Nabi menerima hadiah itu dengan akhlak yang menyenangkan si pemberi. Syahdan, Beliau mulai menikmati butir anggur pertama, si lelaki miskin semakin sumringah sementara para shahabat yang ada di majlis tersebut berharap Nabi mengajak mereka turut makan. Butir kedua Beliau kunyah, tapi taka ada tanda-tanda untuk berbagi dengan para shahabat. Tiga, empat, lima hingga akhirnya semua anggur beliau habiskan sendirian. Si lelaki miskin kemudian undur diri dengan segala suka citanya. Nabi menghadapkan pandangannya kepada para shahabat yang nampaknya masih heran dengan sikap Nabi yang tak biasa. “Ya Rasulallah, kenapa engkau memakan semua anggur itu sendiri dan sama sekali tidak menawarkan untuk salah satu dari kami,” kata seorang shahabat. “Aku memakan semua buah anggur itu karena r