Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2018

Each Gives What He Has

Orang-orang zalim makin gencar merecoki perjuangan Nabi Isa. Ada-ada saja akal-akalan mereka untuk menggembosi laju dakwah. Nabi Isa adalah satu satu dari ulul azmi , golongan rasul yang memiliki ketabahan luar biasa, yang berarti pula memperoleh cobaan yang luar biasa. Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah rasul lain yang mendapat gelar tersebut. Yang bikin heran hawariyun , para pengikut Nabi Isa, makin pahit cacian kepada sang nabi, makin manis tanggapan beliau. Seorang dari hawariyin bertanya, “Makin pedas perkataan mereka padamu, kok makin santun perkataanmu kepada mereka? Apa tidak membuat mereka makin berani menghinamu?” Nabi Isa menjawab, “Setiap manusia hanya sanggup memberi dengan sesuatu yang dia punya.” Para nabi berdakwah dengan merangkul, bukan memukul. Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam memberikan contoh yang gamblang bahwa perbedaan suku atau agama tak semestinya menghalangi manusia untuk saling menghormati. Rasulullah pernah

Ulama Pemerintah

Maslamah bin Abdul Malik berujar, “Sesungguhnya di Kindah ada tiga orang yang berkat mereka, Allah menurunkan hujan... dan memberi mereka kemenangan atas musuh... salah satu dari mereka adalah Raja bin Haiwah.” Raja’ adalah pemuka ulama di era tabiin, satu shaf dengan Alqasim cucunya Abu Bakar dan Muhammad bin Sirrin. Raja’ lahir di Palestina, sejak kecil dirinya sudah digrojok dengan ilmu. Gurunya berderet panjang dari Abu Said Alkhudri, Abu Darda, Abdullah bin Amr hingga Muawiyah yang lainnya. Salah satu prinsip hidup Raja’ adalah amal adalah penghias ilmu, dan kelembutan adalah penghias amal. Raja’ adalah pribadi yang berbeda dari kebanyakan ulama di masanya atau masa sebelumnya yang cenderung menjauhi politik praktis. Raja’ menjadi menteri yang mendampingi para Khalifah Bani Umayyah dari era Abdul Malik bin Marwan dan beberapa orang setelahnya. Nempel dengan penguasa bukanlah hal yang mudah bahkan untuk ulama, namun Raja’ membuktikan konsistensinya dalam menyuarakan kebaikan dalam

Prank

Mughirah bin Syu’bah adalah bagian dari pasukan yang ditugaskan Rasulullah untuk menghancurkan berhala-berhala di Thaif. Ketika ia memukulkan kapaknya pada sebuah berhala, tiba-tiba ia terjatuh dan tak bergerak lagi. Melihat kejadian itu orang-orang musyrik sontak mengira Syu’bah telah kualat karena menantang sesembahan mereka. Orang-orang itu bersorak, “Ia dibunuh berhala Rabbah!” Keadaan makin riuh, kaum musyrik mulai berbangga diri. Mereka sesumbar siapa saja yang menantang berhala itu bakalan kena azab seketika. Ketika para pemuja berhala sedang berada pada puncak ke-PD-annya, tiba-tiba Mughirah   bangkit bikin kaget. Rupanya Mughirah hanya sedang membuat lelucon untuk mengejek mereka. Betapa perih batin para pemuja berhala itu, sakit tapi tak berdarah. Kalau hidup di era ini, Mughirah mungkin sudah didemo karena dianggap menista atau setidaknya dikenai pasal perbuatan tidak menyenangkan.

Empati

Jakfar bin Abi Thalib memegang panji perang dengan tangan kirinya setelah tangan kanannya putus oleh tebasan pedang musuh. Ia bagai sampan kecil dalam kepungan ombak dua ratus ribu pasukan Heraklius. Sabetan pedang, tusukan tombak dan hujan panah menggempur pasukan muslimin tanpa jeda. Tangan kiri Jakfar pun akhirnya terpotong oleh serangan lawan yang membabi buta. Jakfar tak menyerah, ia merangkul panji Rasulullah dengan lengannya hingga ajal menghampirinya. Sembilan puluh luka menganga menjadi saksi kegigihannya mengemban amanah di Perang Mu’tah. Meskipun berjarak lebih dari seribu kilometer dari Madinah, Rasulullah dapat merasakan kecamuk perang Mu’tah seperti tak ada jarak di antara keduanya. Ketika Jakfar syahid, bercucuranlah air mata Rasulullah. Beliau mencium dan memeluk putra Jakfar, mengabarkan kepahlawanan ayah mereka. Rasulullah kemudian bersabda kepada khalayak, “Janganlah kalian teledor untuk membuatkan makanan bagi keluarga Jakfar. Mereka telah disibukkan oleh perkara ke

Mending Mati daripada Putus

Abbad bin Bisyri dan seorang shahabat lain mendapat tugas dari Rasulullah untuk berjaga malam. Ketika rekannya  tidur, Abbad menghiasi tugas jaganya dengan shalat malam. Abbad berdiri dengan khusyuk seakan berbisik dengan Tuhannya. Wajahnya teduh diliputi rona kedamaian, tak tersisa bekas-bekas letih dari perang Dzatur Riqa’ yang baru dilakoninya. Ruhnya tenang mengambang di atas genangan luas cinta-Nya, tak ia hiraukan sebuah anak panah baru saja melesat menancap di tubuhnya. Abbad tak beranjak dari shalatnya. Dua anak panah lagi melesat tepat mengenai dirinya, namun ia belum rela mengakhiri ibadahnya. Setelah dengan khusyuk menyempurnakan shalatnya hingga salam, barulah ia membangunkan rekannya. Rekannya terkejut melihat kondisi Abbad, “Subhanallah, kenapa kau tak membangunkanku?” Abbad menjawab, “Pada saat itu aku sedang membaca surah yang aku tidak ingin memutuskannya. Wallahi, andai tidak akan menyia-nyiakan pos penjagaan yang ditugaskan Rasulullah kepadaku untuk kujaga, sungguh a

Kausalitas

“Ya Rasulallah!” kata seorang yang sedang memegang tali kekang tunggangannya. “Aku ikat tungganganku ini lalu bertawakal atau aku lepas dan bertawakal?” Rasulullah menjawab, “Ikatlah tungganganmu kemudian bertawakallah!” Jawaban Rasulullah menegaskan bahwa tawakal bukan berarti mengabaikan usaha. Allah dengan kehendak-Nya telah menetapkan hukum sebab-akibat yang berlaku di dunia. Sobat misqin yang hidupnya susah lantaran malas boleh saja mengaku sedang diuji, tapi ia tak bisa terus mengelak bahwa keadaanya tidak lepas dari usahanya sendiri. Ia tidak semestinya diam dan pura-pura menikmati kesusahan sambil menunggu kemakmuran datang menghampiri. Apakah dengan bekerja keras kemakmuran pasti datang? Belum tentu juga, karena hasil tidak ditentukan oleh sebab tunggal. Unta perlu diikat, jodoh perlu dipikat. Jika dalam urusan hewan tunggangan seseorang dituntut berusaha secara nyata sebelum pasrah pada-Nya apalagi dalam urusan lain yang lebih penting. Eits! , tujuan utama dari melakoni sebab

Buah yang Baik

Bolak-balik Mubarak mengambilkan buah delima untuk majikannya tapi tak ada yang rasanya manis. Antara heran dan jengkel majikannya bertanya pada Mubarak, “Apakah kau tidak bisa membedakan buah yang manis dan yang masam, padahal sudah berbulan-bulan kau jaga kebunku?” “Tidak bisa” “Kenapa tidak bisa?” “Karena saya ditugaskan untuk menjaganya, bukan mencicipi.” Sang majikan pun terkesima dengan jawaban lugu tapi mengagumkan itu. Bak kisah dari negeri dongeng, sang majikan yang kebetulan ingin menikahkan anaknya kemudian memilih Mubarak sebagai menantu. Dari pernikahan barakah tersebut lahirlah pribadi luar biasa, penghimpun adab dan ilmu, ulama besar bernama Abdullah bin Mubarak. Buah yang baik biasa hadir dari pohon yang baik. Kemuliaan nasab akan mendorong penyandangnya pada perkara-perkara besar dan mengambil jarak dari perkara remeh. Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, semulia-mulianya makhluk, adalah putra dari Abdullah, sebaik-baik putra Abdul Muthalib. Abdullah adalah yang pert

Hakim Para Khalifah

Ssst...! Umar bin Khattab mengerem laju tunggangannya. Ia merasa ada yang salah dengan kuda yang barusan ia beli. Ketika kuda tersebut ia bayar dari seorang badui, rasa-rasanya tidak ada yang bermasalah. Merasa dirugikan, Umar langsung banting setir ke tempat si badui. “Ambil kudamu, karena ternyata ia terluka! ” Si badui menolak, “Aku tidak mau mengambilnya. Hai Amirul Mukminin, aku menjualnya kepadamu dalam keadaan sempurna dan sehat.” Umar tidak bisa ngeyel karena argumen si badui juga masuk akal. Umar lantas meminta masalah ini diserahkan kepada seorang hakim. Si badui mengusulkan agar Syuraih bin Alharits yang memutuskan perkara mereka. Setelah sampai kepada Syuraih, mereka mengadukan permasalahan yang tengah terjadi. Syuraih berkata, “Apakah anda menerima kuda itu dalam keadaan sempurna, hai Amirul Mukminin? Umar menjawab, “Ya!” Syuraih pun memberikan putusan kepada Umar untuk menerima kuda itu atau boleh dikembalikan asal kondisinya sempurna sebagaimana ia terima dari si badui.

Basecamp

Saad bin Abi Waqqash dan beberapa shahabat lainnya mlipir ke celah-celah bukit karena hendak shalat. Di tahun-tahun awal dakwah, kaum muslimin harus ngumpet-ngumpet saat beribadah untuk menghindari persekusi dari kaum musyrikin. Nahas, meski sudah bersembunyi ternyata ada rombongan musyrikin yang memergoki Saad dan yang lainnya. Orang-orang musyrik sekonyong-konyong mencela para shahabat bahkan menyerang mereka. Saad lantas menggebuk seorang musyrik dengan tulang unta hingga berdarah. Itulah dari pertama yang dialirkan dalam membela Islam. Sejak bentrokan yang dialami Saad bin Abi Waqqash dengan gerombolan kafir Quraisy, Rasulullah memikirkan perlunya basecamp dakwah yang aman. Setelah menimbang beberapa hal maka Rasulullah memilih rumah Arqam bin Abil Arqam. Terpilihnya lokasi tersebut menunjukkan kecerdasan Rasulullah yang luar biasa. Siapa yang bakal mengira jika pusat pertemuan dakwah justru berada di rumah Arqam yang berasal dari Bani Makhzum alias keluarganya Abu Jahal? Keren!