Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2017

Gigi Seri Suhail

Suhail bin Amr adalah orator kebanggaan Suku Quraisy. Ketika tiba masa Islam, dia menjadi salah satu musuh besar dakwah Rasul. Dialah yang memprovokasi para jamaah haji agar tidak mendengarkan seruan dakwah. Dia juga yang menjadi perwakilan kafir Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah yang melegenda. Diksi-diksi yang ia pilih dalam perjanjian itu menunjukkan kepiawaiannya sebagai politisi kelas kakap bahkan paus. Konsistensi Suhail dalam memusuhi Islam mencapai taraf akut sekaligus mengagumkan. Dia bersama Ikrimah bin Abu Jahal dan Shafwan bin Umayyah adalah beberapa orang yang masih ngeyel mengangkat pedang ketika terjadi Fathu Makkah. Saking menyebalkannya orang ini, Umar pernah ingin merontokkan gigi-gigi Suhail agar dia tak mampu lagi berorasi. Rasul melarang Umar, “mudah-mudahan esok ia akan menempati suatu tempat seperti yang engkau sukai.” Rasul benar, Suhail pada gilirannya turut mencicipi manisnya iman. Jika sebelumnya ia menunjukkan komitmen yang luar biasa kepada para berhala,

Moral Jahiliyah

Rasul memasuki Makkah sambil membaca surah Alfath dengan penghayatan atas nikmat dan ampunan. Setelah Makkah benar-benar tunduk, Rasul berbicara di hadapan orang-orang, “tidak ada sesuatu yang akan menimpa kalian. Hari ini Allah telah mengampuni kalian.” Beliau memberikan amnesti umum bagi penduduk Makkah sebagaimana Yusuf memaafkan saudara-saudaranya. Kemuliaan akhlak Rasul mendorong penduduk Makkah untuk masuk Islam secara berbondong-bondong. Rasul membaiat kaum perempuan setelah kaum laki-laki. Beliau membaiat mereka agar tidak musyrik, mencuri, berzina, membunuh anak, berdusta dan mendurhakai perbuatan baik. Ketika Rasul menyebutkan larangan berbuat zina, Hindun binti Utbah berkata, “apakah ada perempuan merdeka yang berzina?” Pertanyaan Hindun akan terasa ganjil bagi kebanyakan manusia yang beranggapan bahwa masa jahiliyah identik dengan perzinaan tanpa terkecuali. Perilaku masyarakat menjelang kerasulan Muhammad memang jahiliyah. Di antara bentuknya adalah merebaknya perzinaan ya

Hidayah dalam Pusaran Amarah

Perang yang berujung kalah menang adalah hal biasa bagi Kafir Quraisy. Hanya saja kekalahan mereka di Perang Badar terasa jauh lebih pahit dari semua kekalahan. Para pembesar mereka tewas di tangan kaum rendahan menurut perspektif masyarakat jahiliyah. Abu Jahal dihabisi oleh Ibnu Mas’ud, seorang penggembala sekaligus keturunan budak. Umayyah bin Khalaf tewas di tangan mantan budaknya sendiri, Bilal bin Rabbah. Dada Shafwan bin Umayyah bin Khalaf dijejali dendam sehingga ia tak mampu lagi tersenyum. Ia merasa Perang Badar telah keluar dari tradisi perang yaitu seseorang berhadapan dengan orang yang sederajat. “Demi Allah tidak ada kebaikan dalam hidup ini setelah mereka mati,” katanya kepada Umair bin Wahb. Umair bin Wahb mengatakan bahwa bila bukan karena beban hutang dan keluarga ia tak akan segan membunuh Muhammad di Madinah. Shafwan berbinar, ia segera mengambil kesempatan. Shafwan mengatakan bahwa hutang dan keluarga Umair akan ia tanggung asalkan Umair berani mengeksekusi Muham

The Chronicle of Badar

Sebagai seorang pemimpin perang Rasul tidak semata-mata mengandalkan bantuan para malaikat yang dengan mudah melibas musuh. Beliau bersungguh-sungguh dalam mengadakan sebab terwujudnya harapan sembari yakin bahwa Allah akan memudahkan. Beliau mempertimbangkan faktor alam, waktu dan hal-hal lain yang mungkin tidak terpikirkan orang lain. Beliau berpagi-pagi menuju Badar mendahului pasukan kafir Quraisy dan mengatur pasukannya untuk membelakangi matahari terbit. Jenius! Posisi tersebut memberi maslahat kepada pasukan muslim karena pihak kafir Quraisy mau tidak mau akan menempati posisi menghadap matahari. Silau. Rasul menata pasukannya sebagaimana meluruskan barisan shalat. Beliau berpesan agar pasukannya tidak menghunus pedang kecuali musuh telah sampai kepada mereka. Di barisan terdepan adalah para pemegang tombak disusul para pemanah. Pembawa tombak akan merepotkan pasukan berkuda untuk merangsek ke dalam barisan muslimin. Di baris kedua, pasukan pemanah akan melindungi penombak dari

Sedekah Kesombongan

Khalid bin Walid memenuhi undangan pemimpin pasukan Romawi, Mahan, untuk berunding. Khalid berlalu dengan tenang melewati lapis-lapis pasukan di kanan dan kirinya. Apalah yang bisa menggertak seseorang yang hampir si setiap bagian tubuhnya telah dipenuhi bekas luka perang. Motivasi Khalid adalah bisyarah Rasul, ia sepenuhnya yakin bahwa muslim pasti menaklukkan Romawi, dengan atau tanpa dirinya. Ia santai saja ketika tuk-tik-tak-tik-tuk suara sepatu kuda perang Romawi melagukan nada teror. “Kami mengetahui bahwa motivasi kalian keluar dari negeri kalian tak lain hanya soal kelaparan dan kesulitan,” kata Mahan. Ia kemudian menawarkan sejumlah harta untuk seluruh pasukan muslim asalkan mereka kembali ke negerinya tanpa perang. Khalid geregetan dengan pelecehan tersebut. Begitulah adanya, di era para shahabat pun orang-orang kafir melihat kaum muslimin sebagai kelompok marginal, miskin, persis seperti bagaimana mereka melihat muslimin hari ini. History repeats itself... “Motivasi kami

Menyederhanakan Cinta

Pemukiman Bani Ma’an dikagetkan oleh serangan perampok Badui. Harta mereka dirampas habis dan sebagian penduduknya ditawan termasuk seorang bocah bernama Zaid. Gerombolan perampok itu kemudian pergi ke Pasar Ukazh untuk menjual hasil rampasan dan tawanan mereka. Si kecil Zaid yang turut dilelang dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk dihadiahkan kepada Khadijah, bibinya. Meski di masa itu wahyu belum turun, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kemuliaan akhlaknya segera memerdekakan Zaid. Ketika pada akhirnya Zaid bertemu dengan ayah kandungnya, ia memilih tetap bersama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di rumah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Zaid belajar makna cinta yang lebih tinggi dari ikatan nasab. Sejak hari itu Rasul mengangkatnya menjadi anak sehingga seluruh Makkah mengenalnya sebagai Zaid bin Muhammad. Nama mulia itu tetap melekat pada Zaid hingga akhirnya syariat menghapuskannya dan ia kembali dipanggil sebagai Zaid bin Haritsah. Di masa setelah tradisi an

Pertanyaan

“Apakah Anda tahu orang yang lebih berilmu daripada Anda?” “Tidak,” maka Allah mewahyukan kepada Musa, “ada ya Musa, dia adalah Khidir.” Allah kemudian memerintahkan Nabi Musa untuk ngangsu kaweruh kepada Khidir sebagaimana termuat dalam surah Alkahfi. Wallahu a’lam, jawaban Nabi Musa seakan menyiratkan karakternya yang cenderung tidak rendah hati tapi bukankah itu yang kiranya cocok untuk menghadapi manusia paling sombong, Firaun, dan umat paling angkuh, Bani Israil? Ibnu Abbas, sang penghimpun ilmu, suatu ketika merontokkan jantung seorang penduduk Iraq yang jauh-jauh menemuinya untuk menanyakan sesuatu. “Beri aku hal-hal besar, dan masalah-masalah sepele itu berikan saja pada orang lain!” Demikianlah kira-kira sebaris kalimat yang mengguncang, yang jelas nyelekit tapi Ibnu Umar pun pernah menunjukkan sikap serupa, “mereka bertanya perihal darah nyamuk padahal tangannya berlumuran darah cucu Rasulullah!” Ya, jiwa yang dipenuhi visi-visi besar memang tidak menyisakan ruang untuk