Langsung ke konten utama

Menyederhanakan Cinta


Pemukiman Bani Ma’an dikagetkan oleh serangan perampok Badui. Harta mereka dirampas habis dan sebagian penduduknya ditawan termasuk seorang bocah bernama Zaid. Gerombolan perampok itu kemudian pergi ke Pasar Ukazh untuk menjual hasil rampasan dan tawanan mereka. Si kecil Zaid yang turut dilelang dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk dihadiahkan kepada Khadijah, bibinya. Meski di masa itu wahyu belum turun, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kemuliaan akhlaknya segera memerdekakan Zaid.

Ketika pada akhirnya Zaid bertemu dengan ayah kandungnya, ia memilih tetap bersama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di rumah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Zaid belajar makna cinta yang lebih tinggi dari ikatan nasab. Sejak hari itu Rasul mengangkatnya menjadi anak sehingga seluruh Makkah mengenalnya sebagai Zaid bin Muhammad. Nama mulia itu tetap melekat pada Zaid hingga akhirnya syariat menghapuskannya dan ia kembali dipanggil sebagai Zaid bin Haritsah.

Di masa setelah tradisi anak angkat dihapuskan Rasul tiba-tiba bersabda, “siapa yang ingin menikahi wanita ahli surga maka nikahilah Ummu Aiman.” Zaid bersegera dalam kebaikan, cukuplah sebaris kalimat itu untuk memotivasinya menikahi Ummu Aiman. Jika dulu orang-orang mengenal Zaid sebagai putra angkat Muhammad maka orang-orang pun mengenal Ummu Aiman sebagai pengasuh Muhammad di masa kecil. Zaid yakin bahwa cinta yang tunduk pada ketaatan tak akan mengecewakan. Kasih sayang dalam bingkai iman hanya akan menumbuhkan kebaikan. Zaid telah melihatnya dalam kisah Rasul dan Khadijah, bahkan ia mengambil bagian darinya.

Zaid dan Ummu Aiman mungkin akan tersenyum jika mereka mendengar percakapan Utsman dengan Nailah. Usia Utsman lebih dari setengah abad melampaui Nailah. Utsman bertanya, “apa kau tak keberatan menikah dengan seorang lelaki tua?” Sambil tersipu Nailah menjawab bahwa ia tipikal wanita yang menyukai suami lebih tua. Ketika Utsman menegaskan pertanyaannya, Nailah berkata, “masa mudamu telah kau habiskan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku lebih menyukai itu dari segala-galanya. Wallahu a’lam.

Cinta menyederhana di hadapan takwa.
Nasab tak melulu menjadi sebabnya,
demikian pula harta.
Motivasinya surga,
perkara fisik dan usia bukan yang utama,
termasuk menjadi yang keberapa....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Abu Abu-Abu Abbasiyah

  Ada tiga fitnah (ujian) besar yang pernah menimpa umat Islam sepeninggal Rasulullah. Pertama, pembunuhan Utsman bin Affan. Ini adalah pemantik awal lahirnya perang saudara berkepanjangan. Kedua, Perang Jamal antara Aisyah binti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Perang ini dikabarkan menelan korban hingga delapan belas ribu shahabat. Fitnah ketiga, konflik al-Walid II dan Yazid III. Ujung dari konflik tersebut adalah naiknya Marwan II yang merupakan khalifah terakhir Bani Umayyah. Pemerintahan Marwan II dikudeta oleh pasukan Abul Abbas As-Saffah dan Abu Muslim Al-Khurasani. Sesuai namanya, Abul Abbas adalah sosok yang kejam sesuai gelarnya yang berarti “penumpah darah”. Daftar kekejamannya bisa dibaca di bukunya Hamka, Sejarah Umat Islam, atau dalam kitab-kitab klasik tentang sejarah Islam. Ibnu Atsir, misalnya, menceritakan bahwa Abul Abbas pernah makan malam di atas mayat-mayat anggota Bani Umayyah. Bani Umayyah memang dibabat habis saat Abbasiyah didirikan, bahkan kuburan keraj

Peran Sejarah

Semilir angin Makkah menggerakkan jenggot di bawah bibir manyun Abu Jahal dan para sekutunya. Makin ruwet saja urusan mereka dengan Rasulullah. Sudah lima tahun #Islam menjadi trending topic di kota penuh berhala itu. Hate speech dan hoaks tidak mampu membendung laju dakwah. Musuh-musuh Rasul makin naik pitam dan meningkatkan tensi intimidasi fisik sehingga orang-orang lemah dari kaum muslimin mengalami penderitaan yang mengerikan. Di masa-masa berat itulah Allah mewahyukan Surah Alkahfi. Alih-alih berisi ayat tentang kesabaran atau bagaimana menghadapi ketidakadilan, Surah Alkahfi justru dipenuhi dengan kisah. Menurut para ulama, hikmah tersembunyi dari surah menjadi gamblang ketika Rasulullah berkata, “berpencarlah kalian di muka bumi ini!” Para shahabat bertanya, “kemana kami harus pergi, ya Rasulallah?” “Ke sana,” jawab Rasul sambil menunjuk ke arah Habasyah. Rupanya Rasul mengambil ibrah dari kisah hijrahnya pemuda Kahfi yang menjadi korban persekusi di masanya. Pengarusutamaan

Mengakrabi Krisis

Madinah terguncang hebat, tak akan ada guncangan semacam itu lagi setelahnya. Orang-orang tercengang, sendi-sendi merapuh tak sanggup menyangga tubuh yang lunglai. Lidah yang kaku tidak kuat memproduksi kata, hanya suara serak. Episentrum guncangan ini berada di rumah Aisyah, yang di dalamnya terbujur jasad Rasulullah. Umar mencak-mencak mendengar kabar duka itu. Dia bangkit, berteriak dan mengancam, “sungguh tangan dan kaki siapa saja yang mengatakan Rasulullah wafat akan dipotong.” Mata-mata sembap tertunduk, mereka tidak terlalu mempedulikan Umar. Hari itu sikap Umar tidak ditafsiri sebagai kekuatan atau kekasaran seperti yang sudah-sudah. Dia hanyalah seorang laki-laki yang patah hati kemudian meluapkan emosi yang tak menemukan peraduan. Abu bakar menyelinap di antara kerumunan. Tanpa kata-kata, langkahnya bergegas memasuki kediaman Aisyah. Abu Bakar menatap wajah Rasul kemudian menciumnya. Kata-kata cintanya mengalir bercampur air mata. Abu Bakar kemudian keluar menemui khalayak

Lelaki Lembut Bernyali

Abu Bakar meradang dan menarik jenggot Umar, “Apa-apaan kau Ibnu Khattab! Rasulullah telah menunjuknya sebagai pemimpin, kemudian kau menyuruhku mencopotnya!” Ya, inilah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang sering terisak saat membaca Alquran. Beliau yang dikhawatirkan Aisyah tak akan mampu menggantikan Rasulullah mengimami shalat lantaran terlalu sensitif hatinya, terlalu rawan dilahap tangis. Lelaki lembut itu kini tengah menunjukkan sisi lain dalam dirinya. Ketika Rasul wafat, Umar berpendapat agar pasukan Usamah bin Zaid tidak perlu melanjutkan jihad ke bumi Syam. (baca: Kesayangan Anak Kesayangan ) Madinah yang baru kehilangan Rasulullah menjadi rentan dikoyak pemberontak, kota itu butuh jaminan keamanan dari para mujahidin. Abu Bakar bersikukuh, ia lebih memilih dicabik-cabik serigala daripada melanggar kehendak Rasulullah. Tak ada ruang ijtihad untuk perkara yang sudah ditetapkan Allah dan Rasulullah.  Usia Usamah yang masih belasan tahun menjadikan ekspedisi jihad kali makin dilematis. U

Habib Palsu

Syaqna bin Abdul Wahid adalah guru ngaji kenamaan di negeri Maroko. Saking hebatnya figur ini, masyarakat seringkali  ngalap berkah  darinya. Sebagai ahli ilmu, Syaqna risih dengan puja-puji masyarakat padanya. Berkat ketelatenan setan, lama-lama Syaqna malah menikmati apa yang mulanya ia benci. Tegukan pertama dari nikmat popularitas melewati kerongkongan Syaqna seperti air garam yang justru menambah dahaga. Ia makin  diperdaya syahwat dan selalu mencari jalan untuk menambah-nambah ketenaran. Syaqna mendapat ide gila untuk menguatkan kedudukannya di masyarakat. Ia mengumpulkan orang-orang dan berkata, “Syaqna bin Abdul Wahid bukanlah nama asliku.” Ia kemudian menunjukkan kartu keluarga berisi silsilah rekaan  yang bersambung ke Rasulullah. Sejak hari itu ia mengaku sebagai Abdullah bin Muhammad keturunan ahli bait. Khalayak mulanya ragu namun mengingat rekam jejak hidup Syaqna yang saleh, akhirnya mereka menerima klaim dusta itu. Batin Syaqna berjingkrak kegirangan sebab berhasil mema