Langsung ke konten utama

Ulama Pemerintah


Maslamah bin Abdul Malik berujar, “Sesungguhnya di Kindah ada tiga orang yang berkat mereka, Allah menurunkan hujan... dan memberi mereka kemenangan atas musuh... salah satu dari mereka adalah Raja bin Haiwah.” Raja’ adalah pemuka ulama di era tabiin, satu shaf dengan Alqasim cucunya Abu Bakar dan Muhammad bin Sirrin.

Raja’ lahir di Palestina, sejak kecil dirinya sudah digrojok dengan ilmu. Gurunya berderet panjang dari Abu Said Alkhudri, Abu Darda, Abdullah bin Amr hingga Muawiyah yang lainnya. Salah satu prinsip hidup Raja’ adalah amal adalah penghias ilmu, dan kelembutan adalah penghias amal.

Raja’ adalah pribadi yang berbeda dari kebanyakan ulama di masanya atau masa sebelumnya yang cenderung menjauhi politik praktis. Raja’ menjadi menteri yang mendampingi para Khalifah Bani Umayyah dari era Abdul Malik bin Marwan dan beberapa orang setelahnya. Nempel dengan penguasa bukanlah hal yang mudah bahkan untuk ulama, namun Raja’ membuktikan konsistensinya dalam menyuarakan kebaikan dalam kepungan syahwat dunia.

Salah satu episode penting Raja’ bin Haiwah adalah peranannya dalam mengubah jalur suksesi khalifah. Ketika Khalifah Sulaiman makin parah sakitnya, Raja’ senantiasa berada di dekatnya. Raja’ mendapati sang khalifah mulai menyerah dengan kehidupan dan berniat menunjuk pengganti. Sulaiman menghendaki Ayub bin Sulaiman menjadi penerusnya. Raja’ mengingatkan Sulaiman agar menunjuk pengganti yang shalih, sementara Ayub belum baligh sehingga belum bisa dilihat keshalihannya.

Setelah berpikir beberapa hari, Sulaiman meminta pandangan Raja’ mengenai Dawud bin Sulaiman. Raja’ berkomentar lugas bahwa Dawud yang sedang berjihad di Konstantinopel belum meng-update statusnya: hidup atau mati. Lha, kan jadi wagu kalau yang ditunjuk menjadi khalifah baru ternyata ternyata sudah mati duluan.

Sulaiman yang kepentok sana-sini mulai berpikir out of the box, “Bagaimana kalau Umar bin Abdul Aziz?” Aha! Akhirnya Sulaiman mengusulkan nama yang memang diharapkan oleh Raja’. Hari itu, Bani Umayyah memulai sebuah kepemimpinan baru yang begitu menyejarah. Amal politik Raja’ bin Haiwah sukses mengantarkan Umar bin Abdul Aziz pada kekuasaan yang lapis kebaikannya tak habis-habis diurai hingga kini. Barakallah Raja’ bin Haiwah, ulama para khalifah.

My mind:
Don’t say it!
Don’t say it!
Don’t say it!
Me:
Itulah Raja’ bin Haiwah, ulama yang menasihati pemerintah, bukan ulama yang ngebet jadi pemerintah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Abu Abu-Abu Abbasiyah

  Ada tiga fitnah (ujian) besar yang pernah menimpa umat Islam sepeninggal Rasulullah. Pertama, pembunuhan Utsman bin Affan. Ini adalah pemantik awal lahirnya perang saudara berkepanjangan. Kedua, Perang Jamal antara Aisyah binti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Perang ini dikabarkan menelan korban hingga delapan belas ribu shahabat. Fitnah ketiga, konflik al-Walid II dan Yazid III. Ujung dari konflik tersebut adalah naiknya Marwan II yang merupakan khalifah terakhir Bani Umayyah. Pemerintahan Marwan II dikudeta oleh pasukan Abul Abbas As-Saffah dan Abu Muslim Al-Khurasani. Sesuai namanya, Abul Abbas adalah sosok yang kejam sesuai gelarnya yang berarti “penumpah darah”. Daftar kekejamannya bisa dibaca di bukunya Hamka, Sejarah Umat Islam, atau dalam kitab-kitab klasik tentang sejarah Islam. Ibnu Atsir, misalnya, menceritakan bahwa Abul Abbas pernah makan malam di atas mayat-mayat anggota Bani Umayyah. Bani Umayyah memang dibabat habis saat Abbasiyah didirikan, bahkan kuburan keraj

Peran Sejarah

Semilir angin Makkah menggerakkan jenggot di bawah bibir manyun Abu Jahal dan para sekutunya. Makin ruwet saja urusan mereka dengan Rasulullah. Sudah lima tahun #Islam menjadi trending topic di kota penuh berhala itu. Hate speech dan hoaks tidak mampu membendung laju dakwah. Musuh-musuh Rasul makin naik pitam dan meningkatkan tensi intimidasi fisik sehingga orang-orang lemah dari kaum muslimin mengalami penderitaan yang mengerikan. Di masa-masa berat itulah Allah mewahyukan Surah Alkahfi. Alih-alih berisi ayat tentang kesabaran atau bagaimana menghadapi ketidakadilan, Surah Alkahfi justru dipenuhi dengan kisah. Menurut para ulama, hikmah tersembunyi dari surah menjadi gamblang ketika Rasulullah berkata, “berpencarlah kalian di muka bumi ini!” Para shahabat bertanya, “kemana kami harus pergi, ya Rasulallah?” “Ke sana,” jawab Rasul sambil menunjuk ke arah Habasyah. Rupanya Rasul mengambil ibrah dari kisah hijrahnya pemuda Kahfi yang menjadi korban persekusi di masanya. Pengarusutamaan

Mengakrabi Krisis

Madinah terguncang hebat, tak akan ada guncangan semacam itu lagi setelahnya. Orang-orang tercengang, sendi-sendi merapuh tak sanggup menyangga tubuh yang lunglai. Lidah yang kaku tidak kuat memproduksi kata, hanya suara serak. Episentrum guncangan ini berada di rumah Aisyah, yang di dalamnya terbujur jasad Rasulullah. Umar mencak-mencak mendengar kabar duka itu. Dia bangkit, berteriak dan mengancam, “sungguh tangan dan kaki siapa saja yang mengatakan Rasulullah wafat akan dipotong.” Mata-mata sembap tertunduk, mereka tidak terlalu mempedulikan Umar. Hari itu sikap Umar tidak ditafsiri sebagai kekuatan atau kekasaran seperti yang sudah-sudah. Dia hanyalah seorang laki-laki yang patah hati kemudian meluapkan emosi yang tak menemukan peraduan. Abu bakar menyelinap di antara kerumunan. Tanpa kata-kata, langkahnya bergegas memasuki kediaman Aisyah. Abu Bakar menatap wajah Rasul kemudian menciumnya. Kata-kata cintanya mengalir bercampur air mata. Abu Bakar kemudian keluar menemui khalayak

Lelaki Lembut Bernyali

Abu Bakar meradang dan menarik jenggot Umar, “Apa-apaan kau Ibnu Khattab! Rasulullah telah menunjuknya sebagai pemimpin, kemudian kau menyuruhku mencopotnya!” Ya, inilah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang sering terisak saat membaca Alquran. Beliau yang dikhawatirkan Aisyah tak akan mampu menggantikan Rasulullah mengimami shalat lantaran terlalu sensitif hatinya, terlalu rawan dilahap tangis. Lelaki lembut itu kini tengah menunjukkan sisi lain dalam dirinya. Ketika Rasul wafat, Umar berpendapat agar pasukan Usamah bin Zaid tidak perlu melanjutkan jihad ke bumi Syam. (baca: Kesayangan Anak Kesayangan ) Madinah yang baru kehilangan Rasulullah menjadi rentan dikoyak pemberontak, kota itu butuh jaminan keamanan dari para mujahidin. Abu Bakar bersikukuh, ia lebih memilih dicabik-cabik serigala daripada melanggar kehendak Rasulullah. Tak ada ruang ijtihad untuk perkara yang sudah ditetapkan Allah dan Rasulullah.  Usia Usamah yang masih belasan tahun menjadikan ekspedisi jihad kali makin dilematis. U

Habib Palsu

Syaqna bin Abdul Wahid adalah guru ngaji kenamaan di negeri Maroko. Saking hebatnya figur ini, masyarakat seringkali  ngalap berkah  darinya. Sebagai ahli ilmu, Syaqna risih dengan puja-puji masyarakat padanya. Berkat ketelatenan setan, lama-lama Syaqna malah menikmati apa yang mulanya ia benci. Tegukan pertama dari nikmat popularitas melewati kerongkongan Syaqna seperti air garam yang justru menambah dahaga. Ia makin  diperdaya syahwat dan selalu mencari jalan untuk menambah-nambah ketenaran. Syaqna mendapat ide gila untuk menguatkan kedudukannya di masyarakat. Ia mengumpulkan orang-orang dan berkata, “Syaqna bin Abdul Wahid bukanlah nama asliku.” Ia kemudian menunjukkan kartu keluarga berisi silsilah rekaan  yang bersambung ke Rasulullah. Sejak hari itu ia mengaku sebagai Abdullah bin Muhammad keturunan ahli bait. Khalayak mulanya ragu namun mengingat rekam jejak hidup Syaqna yang saleh, akhirnya mereka menerima klaim dusta itu. Batin Syaqna berjingkrak kegirangan sebab berhasil mema