Langsung ke konten utama

Kontribusi Kolonialisme bagi Pendidikan di Indonesia

Sejarah tidak hitam putih seperti cerita dalam buku IPS. Kehadiran kaum penjajah di masa kolonialisme tidak hanya membawa hal serba buruk. Mereka juga memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa ini. Kita tak jarang salah kaprah dalam memahami jati diri bangsa karena tidak menyelami sejarahnya. Sebagai contoh, saat melihat wanita berpakaian terbuka, masyarakat kita sering menyebutnya tidak sesuai budaya dan kepribadian bangsa. Padahal, budaya asli kita justru menerima adanya wanita bertelanjang dada. Tidak hanya orang-orang di pedalaman Papua seperti yang kita lihat sekarang, orang Jawa atau Bali juga biasa bertelanjang dada di masa lalu. Bahkan, wanita-wanita Bali hingga tahun 1950-an tidak mengenal penutup dada. Baca saja, tidak perlu dibayangkan. 

Secara umum, di awal abad ke-19, menutup dada belum jadi kelaziman di Indonesia. Kebiasaan mengenakan kutang diperkenalkan orang-orang Belanda. Remy Sylado menceritakan sejarah lahirnya istilah kutang, dalam buku “Pangeran Diponegoro”. Saat itu, dalam proyek pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, Belanda mempekerjakan laki-laki maupun perempuan. Don Lopez, seorang pejabat Belanda, melihat para perempuan bertelanjang dada. Dia kemudian memotong secarik kain putih dan memberikannya kepada salah seorang di antara mereka sembari berkata dalam bahasa Prancis: “tutup bagian yang berharga (coutant) itu.” Berkali-kali dia mengatakan “Coutant. Coutant.” yang kemudian terdengar sebagai kutang oleh para pekerja. 

Penjajahan Belanda, yang kemudian dilanjutkan Jepang, juga memberi kontribusi dalam bidang pendidikan (Islam). Belanda mendirikan beberapa sekolah di Indonesia, sama seperti pendahulunya, Portugis. Sekolah Belanda pada mulanya mendirikan sekolah berbasis agama (Protestan) di Ambon. Setiap tahun ada penduduk Ambon sekolah ke Belanda agar bisa menjadi guru di daerah asalnya. Sekolah-sekolah Belanda mulai didirikan di berbagai daerah pada abad sembilan belas. Hal ini terkait adanya kebutuhan mereka terhadap pekerja terampil. Peserta didik dari sekolah-sekolah Belanda adalah anak-anak dari kaum bangsawan. 

Setelah adanya kebijakan politik etis, sebagian sekolah Belanda mulai menerima peserta didik dari kalangan biasa. Sekolah semacam itu dikenal dengan sebutan “sekolah rakyat”. Belanda memperkenalkan sistem pendidikan formal yang lebih terstruktur, yaitu: 1. ELS (Europeesche Lagere School) – Sekolah dasar bagi orang eropa. 2. HIS (Hollandsch-Inlandsche School) – Sekolah dasar bagi pribumi. 3. MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) – Sekolah menengah. 4. AMS (Algeme(e)ne Middelbare School) – Sekolah atas. 5. HBS (Hogere Burger School) – Pra-Universitas. Perguruan tinggi: 1. School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) – Sekolah kedokteran di Batavia. 2. Nederland-Indische Artsen School (NIAS) – Sekolah kedokteran di Surabaya. 3. Rechts Hoge School – Sekolah hukum di Batavia. 4. De Technische Hoges School (THS) – Sekolah teknik di Bandung. 

Terlepas dari motif utama pendidikan Belanda, adanya pendidikan modern yang mereka selenggarakan telah menginspirasi ulama dan kiai untuk melakukan pembaruan sistem pendidikan Islam. Pesantren Tebuireng Jombang dan Singasari Malang misalnya, mengajarkan bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan lain-lain. Lahir pula berbagai lembaga pendidikan Islam di bawah naungan organisasi Islam semisal Jamiatul Khair, Muhammadiyah, NU, Persis dan Al-Irsyad yang bertahan hingga sekarang. 

Setelah Jepang mengalahkan Belanda, sistem pendidikan berubah. Akses terhadap pendidikan lebih luas bagi masyarakat. Bahasa pengantar di sekolah berubah dari Bahasa Belanda menjadi Bahasa Indonesia dan Jepang. Di era pendudukan Jepang, pendidikan Islam punya ruang gerak yang lebih baik. Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, KH. Muzakkar, dan Bung Hatta. Pesantren-pesantren besar juga sering mendapat sumbangan dana pendidikan. Meski demikian, hubungan muslim dengan Jepang tidak selalu baik. KH. Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan untuk melakukan seikere (menghormati Kaisar Jepang yang dianggap keturunan dewa matahari). Akibat sikap tersebut beliau ditangkap dan dipenjarakan oleh jepang selama 8 bulan. 

Madrasah-madrasah yang ada di lingkungan pondok pesantren tidak diawasi seketat masa Belanda. Secara umum, pendidikan dalam pondok pesantren masih dapat berjalan secara wajar. Meski demikian, pendidikan di masa Jepang sebenarnya kurang memadai karena lebih ditekankan pada pendekatan militer dan budaya Jepang—tapi bukan style harajuku

Habata itara modoranai to itte 

Sagashita no wa shiroi shiroi ano kumo 

Tsukinuketara mitsukaru to shitte 

Furikiru hodo aoi aoi ano sora 

Aoi aoi ano sora aoi aoi ano sora 

Dattebayo!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Abu Abu-Abu Abbasiyah

  Ada tiga fitnah (ujian) besar yang pernah menimpa umat Islam sepeninggal Rasulullah. Pertama, pembunuhan Utsman bin Affan. Ini adalah pemantik awal lahirnya perang saudara berkepanjangan. Kedua, Perang Jamal antara Aisyah binti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Perang ini dikabarkan menelan korban hingga delapan belas ribu shahabat. Fitnah ketiga, konflik al-Walid II dan Yazid III. Ujung dari konflik tersebut adalah naiknya Marwan II yang merupakan khalifah terakhir Bani Umayyah. Pemerintahan Marwan II dikudeta oleh pasukan Abul Abbas As-Saffah dan Abu Muslim Al-Khurasani. Sesuai namanya, Abul Abbas adalah sosok yang kejam sesuai gelarnya yang berarti “penumpah darah”. Daftar kekejamannya bisa dibaca di bukunya Hamka, Sejarah Umat Islam, atau dalam kitab-kitab klasik tentang sejarah Islam. Ibnu Atsir, misalnya, menceritakan bahwa Abul Abbas pernah makan malam di atas mayat-mayat anggota Bani Umayyah. Bani Umayyah memang dibabat habis saat Abbasiyah didirikan, bahkan kuburan keraj

Peran Sejarah

Semilir angin Makkah menggerakkan jenggot di bawah bibir manyun Abu Jahal dan para sekutunya. Makin ruwet saja urusan mereka dengan Rasulullah. Sudah lima tahun #Islam menjadi trending topic di kota penuh berhala itu. Hate speech dan hoaks tidak mampu membendung laju dakwah. Musuh-musuh Rasul makin naik pitam dan meningkatkan tensi intimidasi fisik sehingga orang-orang lemah dari kaum muslimin mengalami penderitaan yang mengerikan. Di masa-masa berat itulah Allah mewahyukan Surah Alkahfi. Alih-alih berisi ayat tentang kesabaran atau bagaimana menghadapi ketidakadilan, Surah Alkahfi justru dipenuhi dengan kisah. Menurut para ulama, hikmah tersembunyi dari surah menjadi gamblang ketika Rasulullah berkata, “berpencarlah kalian di muka bumi ini!” Para shahabat bertanya, “kemana kami harus pergi, ya Rasulallah?” “Ke sana,” jawab Rasul sambil menunjuk ke arah Habasyah. Rupanya Rasul mengambil ibrah dari kisah hijrahnya pemuda Kahfi yang menjadi korban persekusi di masanya. Pengarusutamaan

Lelaki Lembut Bernyali

Abu Bakar meradang dan menarik jenggot Umar, “Apa-apaan kau Ibnu Khattab! Rasulullah telah menunjuknya sebagai pemimpin, kemudian kau menyuruhku mencopotnya!” Ya, inilah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang sering terisak saat membaca Alquran. Beliau yang dikhawatirkan Aisyah tak akan mampu menggantikan Rasulullah mengimami shalat lantaran terlalu sensitif hatinya, terlalu rawan dilahap tangis. Lelaki lembut itu kini tengah menunjukkan sisi lain dalam dirinya. Ketika Rasul wafat, Umar berpendapat agar pasukan Usamah bin Zaid tidak perlu melanjutkan jihad ke bumi Syam. (baca: Kesayangan Anak Kesayangan ) Madinah yang baru kehilangan Rasulullah menjadi rentan dikoyak pemberontak, kota itu butuh jaminan keamanan dari para mujahidin. Abu Bakar bersikukuh, ia lebih memilih dicabik-cabik serigala daripada melanggar kehendak Rasulullah. Tak ada ruang ijtihad untuk perkara yang sudah ditetapkan Allah dan Rasulullah.  Usia Usamah yang masih belasan tahun menjadikan ekspedisi jihad kali makin dilematis. U

Keajaiban

Aku punya hidup yang biasa saja. Bagi orang lain mungkin begitu tapi bagiku tidak. Ini adalah hidup penuh keajaiban. Aku mengetik cerita ini sambil menikmati camilan yang baru saja diantar ke ruang kerjaku. Kepalaku memang agak nyut-nyutan karena baru saja menuntaskan koreksian. Sakit yang tak seberapa, tak ada apa-apanya dibanding kerja keras orang tuaku menafkahi aku. Aku lahir di keluarga yang sederhana karena terpaksa. Sewaktu kecil kami sering makan olahan nasi sisa karena tak ada cukup beras untuk dimakan. Bapakku sering hanya makan umbi-umbian yang ditanam sendiri. Ibuku kadang harus menjual isi rumah agar aku bisa berangkat sekolah. Aku menjalani hidup dengan mencemooh mimpi-mimpi besar, menganggapnya omong kosong. Takdirku adalah menjadi masyarakat agraris yang kampungnya tidak pernah mencium aspal. Masa depanku akan biasa-biasa saja, seperti keluargaku atau tetanggaku. Pikirku akan begitu. Dulu aku memimpikan punya rumah tingkat seperti yang sering kulihat saat sepedaan ke se

Biner

Saya pernah mengikuti seleksi kerja yang cukup menjanjikan, nilai ujian tulis saya aman, sesi ujian lainnya juga lancar. Saya optimis lulus tapi kenyataan tidak, ternyata sudah ada nama yang dipastikan lulus sebelum ujian dimulai. Dia tidak lolos ujian tulis lalu panitia mengubah ambang batas kelulusan menyesuaikan nilainya. Alhasil, pekerjaan itu tidak saya dapatkan tapi saya belajar bahwa hidup ini tidak hitam putih. Secara teknis saya gagal tapi situasinya tidak sesederhana itu, ada faktor yang tidak bisa saya kendalikan yang membuat tidak adil jika pilihannya hanya gagal dan sukses. Saya tidak sedang menghibur diri tapi hidup memang tidak selalu menyajikan dua pilihan yang berlawanan. Selalu ada wilayah abu-abu. Ketika nenek moyang kita masih hidup di alam liar bersama predator mereka dituntut untuk berpikir cepat antara bertarung atau lari. Hanya ada dua pilihan. Pola pikir sederhana ini menentukan hidup dan mati mereka. Cara berpikir yang menyederhanakan pilihan-pilihan kompleks